Nahdlatul Ulama |
MEDIA SAHABAT NUSANTARA -- Berbicara soal dakwah, dakwah merupakan suatu masalah yang pasti dibutuhkan umat dalam membenahi akhlaq dan perilaku umat. Tak sebatas itu, dakwah juga merupakan sarana yang harus ditempuh oleh seorang muslim untuk mengajak orang lain, khususnya umat non-islam untuk bersama-sama menegakkan Kalimatullah di atas muka bumi ini. Dalam berdakwah pun tidak hanya sebatas mengajak orang lain (objek dakwah) untuk berbuat amal sholeh, namun juga membutuhkan kebersihan hati dan akhlaqul karimah untuk menunjang keberhasilan dalam berdakwah.
Dakwah, secara bahasa merupakan Masdar dari kata kerja دَعَا ـ يَدْعُوْ ـ دَعْوَةً yang memiliki dua arti, pertama adalah Nida’ (panggilan) dan yang kedua adalah Su’al (permohonan). Dalam memaknai kata Nida’, dapat dilihat dari penggalan ayat 125 surah An-Nahl, yaitu:
أُدْعُ إِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ...
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik...”
Kemudian, secara tidak langsung ayat di atas memberikan pengertian bahwa dakwah memiliki hukum fardlu ‘ain bagi setiap muslim. Namun demikian, perintah ud’u pada ayat di atas dibatasi oleh Firman Allah swt dalam surah Ali ‘Imron ayat 110 yang berbunyi:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, dan beriman kepada Allah..”
Menurut sebagian Ulama’, kata kuntum dalam ayat tersebut merupakan pembatasan bahwa perintah berdakwah adalah fardlu kifayah.
Selanjutnya, kata dakwah yang berarti su’al / permohonan dapat dilihat pada Firman Allah swt pada surah Al-Baqoroh ayat 183 :
..أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيْبُوْالِيْ وَلْيُؤْمِنُوْابِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ
“...Aku kabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar memperoleh kebenaran.”
Dari pengertian di atas, secara terminology dakwah dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mengajak orang lain melakukan apa yang kita inginkan kepadanya. Dakwah lebih menekankan objeknya kepada non-muslim, sedangkan berdakwah ke sesama muslim lebih dikenal dengan istilah amar ma’ruf nahi munkar.
Kemudian, setelah bebarapa pengertian di atas dipaparkan, tentu dalam berdakwah memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan dakwah ini, misalnya dalam berdakwah tidak dapat dilakukan di sembarang tempat dan sembarang perkataan, namun harus melihat situasi dan kondisi saat berdakwah. Hal ini seperti apa yang dikatakan oleh ulama’ bahwa “Kullu maqomin maqolun, wa kullu maqolin maqomun”, yang berarti “Setiap tempat ada pembicaraannya, dan setiap pembicaraan ada tempatnya”. Itu berarti setiap Da’i harus menguasai sasaran dakwah, metode yang digunakan dan lain sebagainya melihat situasi dan kondisi yang ada.
Dalam berdakwah pun memiliki syarat atau pondasi dasar yang harus dipenuhi oleh setiap pendakwah. Para ulama’ telah merumuskan dua dasar utama yang harus dipenuhi bagi seorang pendakwah, yang pertama adalah ilmu dan yang kedua adalah tadzkiyatun nafs (penyucian jiwa). Kedua syarat tersebut harus dipenuhi oleh seorang pendakwah agar tujuan ia berdakwah dapat tercapai, meskipun dalam pelaksanaannya pun terdapat banyak sekali hal / syarat yang harus dipenuhi pula sebagai penunjang pelaksanaan dalam berdakwah maupun syarat bagi pendakwah itu sendiri. Namun, kedua syarat utama di atas harus ada bagi seorang pendakwah, jika salah satu syarat saja tidak terpenuhi oleh pendakwah, maka dakwah yang dilakukannya akan pincang.
Misalkan, secara sederhana dapat diibaratkan jika seseorang tersebut memiliki ilmu yang banyak dan cukup, namun dalam hati dan jiwanya masih terdapat banyak penyakit maka objek dakwah cenderung akan tidak memiliki kepercayaan terhadapnya. Sebaliknya, jika seseorang memiliki hati yang bersih dan baik, namun ia tidak memiliki ilmu yang cukup maka apa yang disampaikannya pun akan tidak dapat dipertanggung jawabkan keshahihannya. Sehingga, dua syarat di atas secara otomatis membentuk pribadi pendakwah itu sendiri sebagai orang yang mumpuni dan pantas untuk dijadikan panutan.
“Lisanul hal afshohu min lisanil lisan”. Merupakan sebuah istilah yang sangat dipegang teguh oleh seorang pendakwah, bahwa fasihnya / baiknya ahwal / keadaan diri itu lebih “mengena” daripada fasihnya lisan dalam mengucapkan sebuah nasihat. Sejarah pun telah membuktikan bahwa fasihnya ahwal merupakan kunci kesuksean dalam melaksanakan misi sebuah dakwah. Misalnya saja “Wali-Songo”, mereka merupakan sekelompok ulama yang tidak hanya mengandalkan fasihnya lisan dengan segudang ilmu yang dimilikinya, namun mereka juga menggunakan fasihnya ahwal (red: tadzkiyatun nafs / tasawwuf) dalam melakukan dakwahnya. Terbukti, dengan hadirnya para wali tersebut, mereka berhasil mengislamisasikan bumi Nusantara dengan waktu yang relatif singkat.
Penggalan di atas sejalan dengan apa yang tertera dalam Al-Qur’an Surah Muhammad ayat 19, yaitu:
فَاعْلَمْ أَنَّهٗ لَاإِلٰهَ إِلَّااللهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَاللهُ يَعْلَمُ مُقَلِّبَكُمْ وَمَثْوٰىكُمْ
“Maka ketahuilah (dengan ilmu) bahwa tiada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah, dan mohonlah ampunan (tadzkiyatun nafs) atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahuai tenmpat usaha dan tempat tinggalmnu.”
Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberhasilan misi sebuah dakwah adalah dengan ilmu dan penyucian jiwa. Karena dengan ilmu (nur), pendakwah akan mengetahui dengan ilmu yang dimilikinya apa-apa yang haq dan apa-apa yang batil. Dan dengan kesucian jiwa (The Power of Qolbu) yang dimilikinya tersebut, dakwah akan sampai ke dalam hati objek dakwah.
Lalu yang harus menjadi perhatian para kader pendakwah, khususnya kader NU, terdapat empat hal yang menjadi falsafah dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu Ta’adul, Tasamuh, Tawazun dan Tawasuth. Ta’adul, hendaknya dakwah dilakukan dengan adil dan profesional, tidak ada pengkotak-kotakan atau pun ketidaktuntasan dalam melaukan dakwah. Tasamuh, dakwah yang dilakukan penuh dengan rasa toleransi yang membawa kedamaian dan ketengangan. Tawazun, kader pendakwah NU harus bisa mengimbangi segala keadaan umat, ketika di dalam umat terjadi keberat-sebelahan, maka pendakwah harus bisa menggiring umat untuk menjadi seimbang lagi, jika tidak maka umat akan “kocar-kacir”. Terakhir adalah Tawasuth, seorang pendakwah tidak memihak ke sebelah kanan maupun kiri.
Lebih jauh lagi, Dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah An-Nahdliyyah memiliki salah satu prinsip bahwa bedakwah haruslah sesuai dengan adat (urf) wilayah dakwah, inilah yang sering kita dengar dengan “Islam Nusantara”, dimana kebudayaan dan adat istiadat nusantara digunakan sebagai media dalam berdakwah, sehingga dakwah dapat diterima masyarakat dengan baik dan damai.
Terakhir, penulis berharap secarik catatan kecil ini dapat menjadi bahan renungan, khususnya bagi para kader muda KMNU yang kini tengah menghadapi banyak tantangan dalam berdakwah. Semoga apa yang kita lakukan selalu mendapat bimbingan, lindungan dan keberkahan dari Allah swt. Aamiiin..
Wallahu Subhanahu Wata’ala A’lam,,
-Zaid el-Faqir (TG)-
Dakwah, secara bahasa merupakan Masdar dari kata kerja دَعَا ـ يَدْعُوْ ـ دَعْوَةً yang memiliki dua arti, pertama adalah Nida’ (panggilan) dan yang kedua adalah Su’al (permohonan). Dalam memaknai kata Nida’, dapat dilihat dari penggalan ayat 125 surah An-Nahl, yaitu:
أُدْعُ إِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ...
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik...”
Kemudian, secara tidak langsung ayat di atas memberikan pengertian bahwa dakwah memiliki hukum fardlu ‘ain bagi setiap muslim. Namun demikian, perintah ud’u pada ayat di atas dibatasi oleh Firman Allah swt dalam surah Ali ‘Imron ayat 110 yang berbunyi:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, dan beriman kepada Allah..”
Menurut sebagian Ulama’, kata kuntum dalam ayat tersebut merupakan pembatasan bahwa perintah berdakwah adalah fardlu kifayah.
Selanjutnya, kata dakwah yang berarti su’al / permohonan dapat dilihat pada Firman Allah swt pada surah Al-Baqoroh ayat 183 :
..أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيْبُوْالِيْ وَلْيُؤْمِنُوْابِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ
“...Aku kabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar memperoleh kebenaran.”
Dari pengertian di atas, secara terminology dakwah dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mengajak orang lain melakukan apa yang kita inginkan kepadanya. Dakwah lebih menekankan objeknya kepada non-muslim, sedangkan berdakwah ke sesama muslim lebih dikenal dengan istilah amar ma’ruf nahi munkar.
Kemudian, setelah bebarapa pengertian di atas dipaparkan, tentu dalam berdakwah memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan dakwah ini, misalnya dalam berdakwah tidak dapat dilakukan di sembarang tempat dan sembarang perkataan, namun harus melihat situasi dan kondisi saat berdakwah. Hal ini seperti apa yang dikatakan oleh ulama’ bahwa “Kullu maqomin maqolun, wa kullu maqolin maqomun”, yang berarti “Setiap tempat ada pembicaraannya, dan setiap pembicaraan ada tempatnya”. Itu berarti setiap Da’i harus menguasai sasaran dakwah, metode yang digunakan dan lain sebagainya melihat situasi dan kondisi yang ada.
Dalam berdakwah pun memiliki syarat atau pondasi dasar yang harus dipenuhi oleh setiap pendakwah. Para ulama’ telah merumuskan dua dasar utama yang harus dipenuhi bagi seorang pendakwah, yang pertama adalah ilmu dan yang kedua adalah tadzkiyatun nafs (penyucian jiwa). Kedua syarat tersebut harus dipenuhi oleh seorang pendakwah agar tujuan ia berdakwah dapat tercapai, meskipun dalam pelaksanaannya pun terdapat banyak sekali hal / syarat yang harus dipenuhi pula sebagai penunjang pelaksanaan dalam berdakwah maupun syarat bagi pendakwah itu sendiri. Namun, kedua syarat utama di atas harus ada bagi seorang pendakwah, jika salah satu syarat saja tidak terpenuhi oleh pendakwah, maka dakwah yang dilakukannya akan pincang.
Misalkan, secara sederhana dapat diibaratkan jika seseorang tersebut memiliki ilmu yang banyak dan cukup, namun dalam hati dan jiwanya masih terdapat banyak penyakit maka objek dakwah cenderung akan tidak memiliki kepercayaan terhadapnya. Sebaliknya, jika seseorang memiliki hati yang bersih dan baik, namun ia tidak memiliki ilmu yang cukup maka apa yang disampaikannya pun akan tidak dapat dipertanggung jawabkan keshahihannya. Sehingga, dua syarat di atas secara otomatis membentuk pribadi pendakwah itu sendiri sebagai orang yang mumpuni dan pantas untuk dijadikan panutan.
“Lisanul hal afshohu min lisanil lisan”. Merupakan sebuah istilah yang sangat dipegang teguh oleh seorang pendakwah, bahwa fasihnya / baiknya ahwal / keadaan diri itu lebih “mengena” daripada fasihnya lisan dalam mengucapkan sebuah nasihat. Sejarah pun telah membuktikan bahwa fasihnya ahwal merupakan kunci kesuksean dalam melaksanakan misi sebuah dakwah. Misalnya saja “Wali-Songo”, mereka merupakan sekelompok ulama yang tidak hanya mengandalkan fasihnya lisan dengan segudang ilmu yang dimilikinya, namun mereka juga menggunakan fasihnya ahwal (red: tadzkiyatun nafs / tasawwuf) dalam melakukan dakwahnya. Terbukti, dengan hadirnya para wali tersebut, mereka berhasil mengislamisasikan bumi Nusantara dengan waktu yang relatif singkat.
Penggalan di atas sejalan dengan apa yang tertera dalam Al-Qur’an Surah Muhammad ayat 19, yaitu:
فَاعْلَمْ أَنَّهٗ لَاإِلٰهَ إِلَّااللهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَاللهُ يَعْلَمُ مُقَلِّبَكُمْ وَمَثْوٰىكُمْ
“Maka ketahuilah (dengan ilmu) bahwa tiada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah, dan mohonlah ampunan (tadzkiyatun nafs) atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahuai tenmpat usaha dan tempat tinggalmnu.”
Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberhasilan misi sebuah dakwah adalah dengan ilmu dan penyucian jiwa. Karena dengan ilmu (nur), pendakwah akan mengetahui dengan ilmu yang dimilikinya apa-apa yang haq dan apa-apa yang batil. Dan dengan kesucian jiwa (The Power of Qolbu) yang dimilikinya tersebut, dakwah akan sampai ke dalam hati objek dakwah.
Lalu yang harus menjadi perhatian para kader pendakwah, khususnya kader NU, terdapat empat hal yang menjadi falsafah dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu Ta’adul, Tasamuh, Tawazun dan Tawasuth. Ta’adul, hendaknya dakwah dilakukan dengan adil dan profesional, tidak ada pengkotak-kotakan atau pun ketidaktuntasan dalam melaukan dakwah. Tasamuh, dakwah yang dilakukan penuh dengan rasa toleransi yang membawa kedamaian dan ketengangan. Tawazun, kader pendakwah NU harus bisa mengimbangi segala keadaan umat, ketika di dalam umat terjadi keberat-sebelahan, maka pendakwah harus bisa menggiring umat untuk menjadi seimbang lagi, jika tidak maka umat akan “kocar-kacir”. Terakhir adalah Tawasuth, seorang pendakwah tidak memihak ke sebelah kanan maupun kiri.
Lebih jauh lagi, Dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah An-Nahdliyyah memiliki salah satu prinsip bahwa bedakwah haruslah sesuai dengan adat (urf) wilayah dakwah, inilah yang sering kita dengar dengan “Islam Nusantara”, dimana kebudayaan dan adat istiadat nusantara digunakan sebagai media dalam berdakwah, sehingga dakwah dapat diterima masyarakat dengan baik dan damai.
Terakhir, penulis berharap secarik catatan kecil ini dapat menjadi bahan renungan, khususnya bagi para kader muda KMNU yang kini tengah menghadapi banyak tantangan dalam berdakwah. Semoga apa yang kita lakukan selalu mendapat bimbingan, lindungan dan keberkahan dari Allah swt. Aamiiin..
Wallahu Subhanahu Wata’ala A’lam,,
-Zaid el-Faqir (TG)-