Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts

Friday, November 2, 2018

Catatan Kecil Soal “KADERISASI” NU (PUBIAN)

Eko Tri Pranoto | Doc. Pribadi
MEDIA SAHABAT NUSANTARA -- Bicara soal kaderisasi tentu tidak akan pernah menemukan ujung. Tidak jarang mengundang perdebatan yang sangat serius. Sebab dalam kaderisasi itu sendiri mempunyai dinamika yang beragam. Nahdlatul ‘Ulama (NU) sebagai  sebagai Ormas terbesar mempunyai sekitar 60 Juta anggota yang tersebar di berbagai negara di dunia. Tentu dengan anggota  yang mencapai puluhan juta merupakan pekerjaan rumah tangga yang tidak mudah bagi NU. Bisa dilihat bahwa harini kaderisasi di NU bisa dikatakan banyak yang tidak berjalan.

Kaderisasi di NU diatur dan dilaksanakan oleh masing-masing Badan Otonom (BANOM). Sesuai dengan bidangnya masing-masing. Baik itu bidang agama, budaya, politik, dsb. Dan diatur oleh AD/ART atau Produk Hukum yang berlaku. Misal dalam GP Ansor dan Fatayat NU ada Pelatihan Kader Dasar (PKD), di Banser ada Pendidikan dan Pelatihan Dasar (DIKLATSAR). Aturan tersebut wajib di pahami oleh setiap kader kemudian dilaksanakan oleh pengurus sesuai dengan aturan yang berlaku.

Mengapa aturan kaderisasi wajib di pahami dan dilaksanakan? Sebab kaderisasi itu sendiri memiliki tujuan. Pertama, kaderisasi dilaksanakan sebagai keniscayaan dalam berorganisasi untuk menanamkan ilmu pengetahuan serta wawasan baik itu dalam ruang lingkup internal organisasi maupun ruang lingkup eksternal organisasi. Kedua, kaderisasi dilaksanakan untuk menciptakan rasa militansi, loyalitas dan royalitas yang tinggi dalam berorganisasi. Ketiga, menciptakan rasa kebersamaan. Satu angkatan dan satu jiwa serta satu barisan dan satu cita.

Saling menghargai dan menghormati sesama kader. Jika ke-tiga tujuan tersebut sudah dicapai dengan cara memahami dan melaksanakan kaderisasi dengan baik maka organisi juka akan berjalan dengan baik. Tidak “semrawut dan amburadul” seperti kebanyakan hari ini.

Kultur ASWAJA yang begitu kuat dan sudah melekat dalam praktik spiritual di masyarakat  Pubian merupakan potensi yang sangat luar biasa yang harus senantiasa dijaga dan di pertahankan. Sumber daya manusia yang begitu melimpah ruah  harus di berdayakan karena NU bukan hanya sebagai Jama’ah tetapi juga Jam’iyyah. Kesadaran bahwa NU merupakan Jam’iyyah harusnya direalisasikan dengan Banom-Banom NU yang ada di Pubian berjalan sesual dengan aturan yang berlaku.

Soal kaderisasi NU di Pubian, kata “semrawut dan amburadul”  pun tidak ketinggalan. Hal itu disebabkan proses kaderisasi tidak dijalankan sesuai dengan AD/ART atau Produk Hukum lainya yang berlaku. Proses re-generasi dan proses re-organisasi bisa dikatakan cacat. Sebab banyak yang hari ini menjadi pengurus bahkan pimpinan organisasi tetapi belum pernah mengikuti proses kaderisasi. Disorientasi  pun hari ini terjadi di setiap Banom-Banom NU yang ada di Pubian.

Butuh evaluasi dan refleksi untuk menyikapi realita yang terjadi di Pubian hari ini. Perlu adanya pembenahan secara internal. Serta Formulasi Kaderisasi yang tepat dan sesuai aturan agar NU Pubian dapat bergerak secara masif. Bukan hanya ada secara struktural dan di hegemoni secara kepengurusan oleh sekelompok orang di kampung  tertentu saja. Salam Pergerakan...!!!!


Catatan Kecil Soal “KADERISASI” NU (PUBIAN)

Oleh : Eko Tri Pranoto (GP Ansor Payung Batu)

Thursday, October 4, 2018

Tuntutan dan Idealisme di Bayang-bayang Partikularitas Semu

OPINI, MEDIA SAHABAT NUSANTARA -- 20 tahun berlalu, kemerdekaan dan kemanusiaan belum terbangun dari tidurnya. Selingan singkat demokrasi dan modernisasi hanya mampu menciptakan kesombongan dan fanatisme dalam bingkai kebodohan. Belum juga bisa mengikis euforia pergerakan komunal model ‘98.


Bangku-bangku perkuliahan seringkali terlihat suram, banyak mahasiswa yang senewen. Seakan mereka membiarkan kabut kelam terus bergulir. Waktu bahkan sama sekali tidak mampu menyadarkan para pemuda tentang budayanya, musyawarah dan mufakat seperti dikhianati, padahal Demokrasi, mahasiswa seperti terjebak ke dalam partikularitas semu. Tidak peduli seberapa besar konstribusi mahasiswa, di Universitas Lampung, pendukung idealitas selalu buta, kurangnya literasi menjadi sebab kefanatikan mahasiswa. Fanatisme telah melahirkan pergerakan mahasiswa yang ultra-ketololan.


Bahkan Creativity international yang dicanangkan dunia internasional di australia pada tahun 1998, dimana indikator pemuda millenium ke-3 adalah penguasaan teknologi, dan ide inovatif masih belum cukup memberi pemahaman kognitif. Muara pergerakan seakan terjebak keruang-ruang populis. Tuntutan dan aksi diagung-agungkan, tetapi landasan dan dasar dikerdilkan, sehingga merusak hubungan baik antara pihak akademisi (Rektorat) dan Mahasiswa.


2 Oktober 2018, pada hari selasa, bila tembok-tembok Rektorat mampu berbicara, biarlah ia menjadi saksi kefanatikan mahasiswa yang berafiliasi pada Gerakan 5000 Mahasiswa Unila Berdaulat. Dibawah terik panas matahari, Ribuan masa turun ke jalan, melontarkan sumpah serapah lantaran sikap penguasa yang dianggap tak bisa dikunyah ego, tak mampu mendongkrak selilit. Memperjuangkan tuntutan pada tataran draft rancangan peraturan rektorat tahun 2018 agar segera dibatalkan. Keluhan-keluhan yang didasarkan pada rancangan Peraturan Rektorat pada saat itu belum sepenuhnya diterima wakil rektor 3. Tetapi gejala yang diwacanakan dalam tuntutan telah menciptakan dimensi yang melampaui kenyataan, sangat hiperrealis.


Persoalannya terletak dalam peraturan Rektor No.3 Tahun 2017 tentang tata cara pemberian penghargaan dan sanksi serta Rancangan peraturan Rektor tahun 2018 tentang Ormawa yang dianggap membelenggu aktivitas kegiatan kemahasiswaan, serta mengikis demokrasi perlahan-lahan. Ketiadaan kompetisi yang sehat, malah-malah cendrung oportunis menjadi rasionalitas adanya peraturan tersebut. namun tak sepenuhnya bisa dibenarkan, bila mengacu pada pasal ke-19 rancangan peraturan rektor;


Panitia Pemilihan Raya dibentuk oleh Rektorat


Gerakan 5000 Mahasiswa Unila berdaulat sepakat bahwa pembentukan dewan mahasiswa menyalahi demokrasi. Namun ‘Dewan Mahasiswa’ disini bukanlah menyalahi demokrasi, melainkan kekuasaan penuh legislatif adalah implikasi dari sistem negara Federalism-parlementary. Artinya kekuasaan tertinggi ada di tangan Mahasiswa. kembali pada variabel sebelumnya, lalu dimana letak kesalahannya yang paling mendasar ?


Rektorat memegang hak vote lebih dominan daripada Mahasiswa


Surplus peran rektorat menjadi dominan, adanya hegemoni yang dikhawatirkan akan membelenggu kebebasan mahasiswa terlepas dari adanya harapan membangun kembali Unila agar bebas dari pragmatisme politik, menjadi konsekuensi dasar bermulanya kompetisi demokrasi Unila yang sehat. Belum berlansungnya sosialisasi rancangan peraturan rektorat adalah permasalahannya. Alhasil, belum ada penafsiran secara regulatif, sehingga beberapa pasal cendrung multi-tafsir, bisa dikatakan pasal karet. Maka amat disayangkan apabila tuntutan pencabutan dan penghentian draft tidak diawali dengan Uji kelayakan secara kolektif-kolegial.


Pertaruhannya adalah layak atau tidak. Revisi dan tafsir mestilah terikat pada ruang musyawarah-mufakat bukan terbelenggu ke dalam ruang-ruang populis. Akhir-akhir ini, rekan-rekan gerakan mahasiswa termutakhir tengah mengamini apa yang disabdakan para pejuang MOBOKRATIS. Apa yang publik lihat saat ini, gerakan mahasiswa yang digawangi oleh kepentingan politik, sedang berkecambah kedalam egosentrisme, bisa dipresepsikan ke dalam demokratisme semu ala orde lama. Dalam sorot yang sunyi mapun hiruk, gerakan mahasiswa perlan-pelan merayap mencari momen agar tetap selamanya menguasai kampus. Indikasi-indikasi kuat selama ini layak kita perhatikan, tidak adanya kompetisi dalam berdemokrasi, misal pada saar pemilihan raya, semakin ia terikat oleh golongan-golongan tertentu. Ketika panitia khusus dikuasai oleh mahasiswa secara de facto, tidak ada peluang terjadinya persaingan yang sehat. Rancangan Peraturan Rektorat tentang Ormawa memang ada benarnya, tapi lagi-lagi perlu dilakukan revisi dan penafisiran pada skala kolektif; musyawarah mencapai mufakat. Berbagai elemen mahasiswa musti bersatu, mengesampingkan segala kepentingan perut dan kekuasaan pada satu tujuan. Demi kemashlatan bersama.


Artinya disini, populisme pergerakan bukanlah solusi utama. Tapi juga tidak mengesampingkan peran orang-orang yang ada di Rektorat. Idealisme sama sekali tak bisa digadaikan. Tetapi segala keputusan, bila menilik dalam ranah historis-konstantaNusantara founding father kita membuat UUD 1945 dan Pancasila bermula dari musyawarah, bukan berlandaskan adanya agitasi ataupun tindakan-tindakan separatis yang dilakukan PRRI-Permesta dan TI-DII. Maka, pergerakan populis sama sekali tidak mencerminkan idealisme melainkan mencerminkan partikularitas golongan, bisa didefinisikan ke dalam sifat-sifat anarki indvidual, bukan anarkisme kolektif yang berlandaskan sumbu berfikir; Gagasan.


Sepertinya publik harus mencermati idealitas pergerakan mahasiswa, posisi dan peran strategis mahasiswa yang bergerak dalam ranah musyawarah mapupun populis serta peran rektorat itu sendiri. Pihak Rektorat menjadi salah ketika membatasi pergeraka mahasiswa dalam berfikir dan bertindak apalagi sampai-sampai menskorsing mahasiswa dengan ancaman DO. Pihak mahasiswa menjadi salah ketika tidak ada kreativitas dalam menuangkan ide dan gagasan. Kedua belah pihak musti beranjak dari kesemuan berfikir, ketika sampai pada tatara idealisme barulah materialisme terwujud.


Rektorat penuh dengan kebijaksanaan, mereka seperti Bung Besar, seringkali dianggap demikian. Merekalah yang bertanggung jawab atas masa depan mahasiswa katakanlah orang kecil. Kebijaksanaan mereka dalam mengambil keputusan selalu dipertimbangkan masak-masak. Alhasil keputusannya selalu berdampak besar bagi semua orang. Kendati cara-cara yang dilakukan seringkali bermuara pada eksekusi, dan represifitas. Namun surealisme sejarah mencatat, Bung Besar adalah manusia yang mengaku dirinya dewa, diatas para raja, sehingga di abad klasik, era Yunani kuno, ada sebuah cerita dimana rakyat membunuh Rajanya secara sadis. Sudah pasti orang dibalik rakyat adalah Bung Besar. Mungkin namanya saat itu bukan bung besar, bisa saja Alexandrer yang Agung atau barangkali Zeus dalam mitologi Yunani. Tetapi itulah kekuatannya, kebijaksanaan yang mampu mengubah dunia dan melenyapkan suatu sejarah yang ada, karena faktanya sejarah hanya milik para pemenang.



Hari ini adalah tahun 2018 dimana keseimbangan kampus mengalami kekacauan yang luar biasa. Kehadiran Bung Besar sewaktu-waktu akan melenyapkan sejarah yang ada, dan ketika sejarah itu hilang, itu bukan karena kehadiran Bung Besar, melainkan kesalahan orang kecil bernama Mahasiswa yang berhenti berfikir. Setidaknya jika idealitas kampus sulit tercapai, sejarah akan mencatat perjuangan orang kecil. Perjuangan tanpa meniadakan perdamaian dan keadilan.



Penulis : Aqil dan Hendra Sahputra

Wednesday, October 3, 2018

Anarkisme-Intelektual PM Unila

Mahasiswa mestilah Anarki, anarki dalam berfikir lalu bertindak, Marjin kiri menegaskan kebebasan dan keadilan, sesuatu yang ideal tak akan tercapai tanpa adanya radikalisme.

Bagaimana implikasinya terhadap pergerakan Mahasiswa di Universitas Lampung hari ini ?

Akhir millenium ke-2 mengakhiri dinamika panjang sejarah perbudakan umat manusia. Diawali dengan manifesto Lenin tentang anarkisme sosial. Baik-buruknya pemberontakan berfikir (Radicalism) Lenin yang khas, pastilah bermuara kembali pada keadilan sosial. Sebab dianggap rekonstruksi, Lenin mengambil dua jalan sekaligus. Mestilah nilai yang dimiliki buruh juga dimiliki kapitalis, begitupun sebaliknya. Sebagaimana revolusi oktober tahun 1917 dimotori kaum Bolshevik (Buruh) namun juga kelas menengah; akademisi-cendekiawan. Meskipun pada akhirnya kelas menengah tak bisa beradaptasi. Stalin setelah Lenin menghancurkan golongan menengah inisiasi Leon Trotsky. Tapi Uni Soviet memanglah sejak awal nampak layaknya negara hasil dari buah pemikiran Lenin melalui Karl Marx, tetapi didalamnya tak jauh berbeda seperti mekanik yang terkukung Leninisme-Bolshevik.


Uni Soviet pada konteks tulisan ini hanya mengawali cara berfikir kita benar tidaknya anarkisme dalam pergerakan mahasiswa di era Millenium ke-3 (2000-3000 M). Anarkisme sendiri adalah paham yang me-negasi-kan kekuasaan otoritas demi kemashlatan umat (Tsolsoy:1914), sebagaimana Lenin meniadakan Tsar (Raja Russia) ataupun Stalin yang menghabisi Leon Trotsky yang cendrung statis/corrupte berfikirnya. Tapi tak dipungkiri, dari Lenin hingga Mikhail Gorbachev adalah otoritas tertinggi Komunisme Internasional-melanggengkan dinasti Tsar dengan gaya barbar. Statisme Iptek, Budaya, dan Perekonomian sama sekali tidak menghasilkan perubahan-alhasil Uni Soviet ambruk. Tanpa ketiganya peradaban baru mustahil tercapai (Tesis Francis Fukuyama).


Maka kita bisa menarik ketiga poin, Kekuasaan, Perkembangan, dan Kemajuan. utamanya adalah kekuasaan. Disini penulis bicara kekuasaan dalam ranah Demokrasi. Kekuasaan melahirkan oposisi. Oposisi identik dengan anarkisme sosial, dalam berfikir, mengarah pada Radikalisme. Hari ini pergerakan mahasiswa bisa dikatakan anarki, tergantung cara kita mendefinisikannya pada kebenaran yang bisa disepakati semua orang (Demokratis). Jika Leon Toltsoy memilahnya menjadi anarki individual (kekerasan-Vandalisme) dan Anarkisme Kolektif (Basis Massa). Penyederhanaannya, Anarkisme kolektif (Massa) tanpa ide dan gagasan akan menimbulkan Cheos, ia mendestruksi kemanusiaan, ia merugikan orang lain, ia merugikan penguasa, meniadakan penguasa, bahkan jika terlepas dalang dibalik pergerakan mahasiswa, pasti ada yang ditumbalkan. Tumbal itu adalah Mahasiswa baru, mahasiswa yang telah terpolarisasi oleh isu yang diciptakan dengan iming-iming demokrasi. Malah cendrung jauh dari kenyataan (Hiperrealis). Konsekuensinya meniadakan kemanusiaan dan kebebesan berfikir, pastilah meniadakan etika politik antara penguasa dan mahasiswa yang selain memegang idealisme namun juga bertanggung jawab atas terwujudnya keadilan dan kesejahteraan sosial.


Contoh yang dicoba dibangun dari artikel ini, adalah sikap mahasiswa dalam menakar rancangan peraturan Rektorat tentang Organisasi Mahasiswa tahun 2018. Kita coba dengan Sylogisme; ada Mahasiswa Unila yang turun ke jalan berbasis komunal berbekal nurani dengan landasan gagasan yang lemah. Tapi tidak menampik keberadaan mahasiswa apatis yang tidak bisa menyalurkan ide dan gagasan. Maka konklusinya berkahir pada sebuah pernyataan sejauh mana pergerakan komunal-intelectual berkembang menormalisasikan kegaduhan yang diciptakan kecerobohan pergerakan massa tadi  ?


Pergerakan disini artiannya meluas, idealisme mestilah mengikat, nurani pun demikian. Gagasan adalah manifestasi dari Idealisme berfikir sehingga cendrung pada pengaplikasian. Namun permasalahannya terjerembab pada layak tidaknya peraturan ini dipermasalahkan. Karena indikator permasalahannya terletak pada isu pengkebirian Demokrasi Universitas Lampung yang dapat ditinjau dalam Draft rancangan peraturan Rektorat tahun 2018 pada pasal ke-19;

Panitia Pemilihan Raya dibentuk oleh Rektorat

Mahasiswa Universitas Lampung sepakat bahwa pembetukan dewan mahasiswa menyalahi demokrasi. Namun Dewan Mahasiswa disini bukanlah menyalahi Demokrasi, karena power Legislatif adalah implikasi dari sistem negara Federal, itu bagian dari Demokrasi. Kembali pada variabel pertama, dimana letak kesalahannya yang paling mendasar ?

Misal; Rektorat memegang hak vote lebih dominan daripada mahasiswa.

Maka titik permasalahannya ada di perancang sistem, peran yang dicoba dibangun dalam pergerakan kali ini adalah mengontrol sejauh mana sistem yang telah dirancang dapat memberi dampak positif bagi seluruh mahasiswa sehingga cendrung fleksibel. Disini etika politik kembali masuk, dalam wujud rekonsiliasi pasca pergerakan yang minim gagasan, tataran pengkajian perlulah diperkuat oleh basis massa dari golongan middle. Sehingga pergerakan selanjutnya tidak hanya bermodal massa namun juga bermodal ide, disini peraturan Rektorat yang menjadi titik tekannya dapat di revisi bersama-sama. Aliansi 5 BEM dan BEM Unila sama-sama berfikir mendua dalam gagasan dunia berbagi yang dikemukakan Hegel tentang filsafat Idealismenya yang kemasyhur. Bila gagal, egosentrisme golongan yang nampak dalam pergerakan mahasiswa Unila hari ini akan kembali terjadi seperti pengusiran yang dilakukan BEM Universitas Lampung terhadap LPM Republica tanpa alasan konkrit pada hari Senin pukul 11.00 WIB (02/10). Ini menunjukkan kecerdasan mempengaruhi pola pikir seperti kata Mahatma Gandhi, kebijaksanaan dan kecerdasan mempengaruhi pola pikir, nilai keadilan dan perdamaiaan semakin tak terelakkan.


Penulis : Aqil, dan Hendra Sahputra

Saturday, September 22, 2018

Pencerahan "Negara Madinah"

"Negara Madinah"

KAJIAN ILMU, MEDIA SAHABAT NUSANTARA -- Negara Madinah, sebuah Negara yang didirikan oleh Baginda Nabi Muhammad saw, belakangan ini ada beberapa orang yang tidak memahaminya secara benar, entah karena ketidaktahuannya mengenai Negara tersebut atau karena menutup mata atas sejarah tersebut, yang pasti sedikit pemahaman tentangnya akan coba kami terangkan dibawah ini.

Slogan “Hubbul Wathan Minal Iman” bukanlah slogan yang baru-baru ini muncul karena sebuah gejolak negeri ini, tetapi merupakan sebuah implementasi yang sudah ada sejak negri ini belum merdeka, bahkan secara tidak langsung slogan tersebut telah digunakan oleh Baginda Nabi saw saat memimpin Negara Madinah.

Dalam bukunya, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Periode Klasik (Abad VII-XIII M), Faisal Ismail mengatakan bahwa Piagam Madinah, sekaligus dapat dimaknai sebagai proklamasi secara resmi bahwa Baginda Nabi Muhammad saw dan para pengikutnya telah mendirikan “Negara” Islam Madinah. Tentu dalam melaksanakan tugas dan fungsi kenegaraan, tugas dan fungsi merealisasikan pemerintahan dan melakukan tata kelola Negara dengan baik dan benar, Baginda Nabi Muhammad saw memerlukan perangkat konstitusi yang disebut Konstitusi Madinah itu. Sesungguhnyalah, dalam pandangan orientalis dan sejarawan, William Montgomery Watt, Muhammad adalah nabi dan negarawan. Hal ini dikemukakan dan diulas secara menarik oleh Montgomery Watt dalam bukunya yang bertajuk “Muhammad: Prophet and Statesmen”. Kita yakin visi Montgomery Watt tentang Baginda Nabi Muhammad saw itu benar, karena dalam realitas dan prakteknya Baginda Nabi Muhammad saw selain membawa dan menyiarkan agama Islam, beliau juga mnemimpin umat, memimpin Negara, mengurusi politik dan pemerintahan, serta memimpin langsung peperangan di banyak medan perang.

Secara factual, tidak dapat diragukan lagi bahwa Baginda Nabi Muhammad saw mempunyai rakyat (umat / komunitas Muslim), wilayah kekuasaan perang (Madinah), kadaulatan Negara (Negara Islam Madinah), dan angkatan perang (pasukan Muslimin) un tuk menjaga wilayah dan kedaulatan Negara Madinah. Dengan demikian Madin ah telah memenuhi syarat dan kriteria untuk disebut sebagai sebuah “Negara”. Baginda Nabi  Muhammad saw tidak diragukan lagi b ahwa Beliau adalah nabi dan negarawan yang menjalankan tugas dan fungsi sebagai kepala pemerintahan dan kepala Negara Madinah.

Benar, Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan utama Islam tidak memerintahkan umat Islam untuk mendirikan Negara Islam. Ayat atau nash yang memerintahkan umat Islam untuk mendirikan Negara Islam tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Jiak Al-Qur’an tidak secara spesifik dan eksplisit berbicara tentang perintah mendirikan Negara, kita harus merujuk pada Sunnah sebagai sumber kedua doktrin Islam. Sunnah dikatagorikan dalam tiga macam, yakni Sunnah Qouliyah (ucapan), Sunnah fi’liyah (perbuatan), dan Sunnah taqririyah (sikap nabi terhadap sesuatu, jika beliau diam berarti setuju dikerjakan).

Melihat sunnah fi’liyah-nya, Baginda Nabi Muhammad saw secara jelas, gambling, dan terang benderang telah Negara Madinah. Madinah adalah cikal bakal Negara Islam yang menjadi pola dasar untuk dicontoh dan dikembangkan secara kreatif-inovatif sesuai dinamika perkembangan sistem politik, ketatanegaraan dan lingkungan social budaya dimana umat/bangsa Muslim hidup di dunia ini. Negara Madinah adalah “rumah” umat Islam bertempat tinggal, bermasyarakat, berpemerintahan, dan bernegara yang dipimpin oleh Baginda Nabi Muhammad saw sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala Negara.

Dalam bukunya, Muhammad in Madina, W.M. Watt menyebut Madinah sebagai The Islamic State karena Madinah merupakan sebuah Negara yang—juga menurut W.M. Watt—tata kelola Negara dioperasikan berdasarkan “Konstitusa Madinah”. Karena masalah bentuk Negara, praktik bernegara, dan sistem pemerintahan itu merupakan masalah duniawi dan masalah ijtihadi, maka Islam tidak mengaturnya secara permanen dan serba tetap agar tidak kaku menghadapi dinamika perkembangan masyarakat.

Soal bentu Negara (kesatuan atau federal) dan sistem pemerintahan (khilafah, emirat, kesultanan, kerajaan/monarki, parlementer, presidensial), Islam menyerahkan hal itu kepada umat/bangsa Muslim yang bersangkutan untuk memikirkan dan menetukannya. Yang paling penting, Negara itu didirikan berdasarkan Islam dan tata pemerintahannya harus benar dan adil, menjunjung tinggi asas-asas hukum, HAM, dan demokrasi yang menjadi inti dan saripati ajaran Islam dalam bernegara.

Dilihat dari perspektif hukum tata Negara, isi Piagam Madinah bersifat komprehensif dan memiliki cakupan tujuan yang luas. Sebagai sebuah kesepakatan, piagam ini mengikat semua penduduk atau warga Madinah untuk secara bersama-sama mematuhi dan membina kerukunan, perdamaian, kedamaian kebersamaan. Baginda Nabi Muhammad saw memaksudkan perjanjian ini dengan tujuan utama untuk menciptakan toleransi antar-golongan masyarakat yang ada di Madinah, yaitu antar umat Islam, komunitas Yahudi, dan komunitas Arab non-Muslim. Isi penting Piagam Madinah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kebebasan sepenuhnya bagi semua komunitas untuk menganut agama masing-masing
2. Hak masing-masing komunitas untuk menyelenggarakan sistem peradilan secara fair dan bebas.
3. Semua penduduk Madinah (Muslim, Yahudi, dan Arab non-Muslim) berkewajiban untuk saling membantu baik moral maupun material.
4. Semua penduduk Madinah harus Sali ng membantu mempertahankan kota Madinah dari serangan musuh dari luar.
5. Baginda Nabi Muhammad saw adalah kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan di Madinah. Kepada beliaulah dibawa perkara dan perselisihan yang besar untuk diselesaikan.

Demikianlah, suatu masyarakat Muslim dan Negara Islam Madinah yang berdasarkan prinsip-prinsip Al-Qur’an dan Sunnah telah dibentuk oleh Baginda Nabi Muhammad saw di Madinah. Beliau sendirilah baik sebagai nabi maupun kepala Negara, memimpin masyarakatnya secara adil, jujur, amanah, disiplin, arif, santun, bijaksana, penuh tanggung jawab, dan memberikan nilai-nilai kebaikan dalam hidup dan kehidupan masyarakat.  Masyarakat baru yang dibangun oleh beliau adalah masyarakat madani yang dibangun atas dasar prinsip persamaan, egalitarianism, demokrasi, keadilan social, dan hak-hak asasi manusia.

Masyarakat baru yang dibangun oleh Baginda Nabi Muhammad saw adalah masyarakat madani yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kedaban dan peradaban. Tidak ada hak-hak golongan non-Muslim yang dihambat, apalagi dikurangi atau dikhianati oleh Beliau. Beliau melaksanakan dan menerapkan prinsip keadilan bagi semua warga Madinah, baik Muslim maupun non-Muslim. Pendirian Negara Islam Madinah dan pembentukan masyarakat Muslim di Madinah inilah yang menjadi modal dasar bagi penataan kehidupan keagamaan dan penyiaran Islam dalam masa-masa selanjutnya.

Wallahu a’lam...


Pencerahan tentang “Negara Madinah”
Penulis : Tito Gustowo

Monday, August 6, 2018

Islam Nusantara: Isi Lama dalam Botol Baru

Islam NUsantara - Sahabat NUsantara


MEDIA SAHABAT NUSANTARA -- Islam Nusantara, tengah viral diperbincangkan baik dimedia ataupun forum diskusi, dilansir dari Opini Media NU Online, ini penjelasan mengenai Islam Nusantara, yang di tulis M. Kholid Syeirazi, Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)

------

Saya tidak heran kalau orang-orang salafi, baik hijazi maupun ikhwani menolak Islam Nusantara karena sejak dari sono-nya mereka menolak NU dan menggolangkannya sebagai ahlul bid’ah. Saya juga tidak heran kalau orang-orang Masyumi dan keturunannya mencela Islam Nusantara karena sejak dulu kita memilih berada di satu rumah tetapi beda kamar. Yang saya takjub itu orang NU yang ikut latah menolak Islam Nusantara gara-gara opini orang yang salah paham atau pahamnya salah.

Islam Nusantara itu ya Islam NU itu, Islam Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyah! Itu seperti isi lama dalam botol baru. Tidak ada yang berubah. Basis teologinya sama, Asy’ariyah. Madzhab fiqihnya Syafi’i. Pandangan tasawufnya ikut Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali. Gampangnya, Islam Nusantara itu Islam yang diamalkan dalam wadah budaya Nusantara, sebagaimana sudah dijalankan NU selama ini.

Nalarnya tidak usah dibikin rumit. Islam itu agama. Sifatnya universal, lintas ruang dan waktu. Manusia itu temporal-partikular, terikat ruang waktu dan waktu. Dia makhluk berbudaya. Begitu agama yang universal itu diamalkan oleh manusia yang partikular, ekspresinya beragam, sesuai dengan wadah budayanya.

Islam yang diamalkan di Arab tentu punya karakteristik berbeda dengan Islam yang diamalkan di Persia, Cina, dan Jawa. Perbedaannya di tingkat cabang (furû’), bukan pokok (ushûl). Yang pokok bersifat universal, tidak berubah atau diubah, untuk selamanya. 

Syahadat ya syahadatain, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Salat subuh ya dua raka’at, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Soal pakai Qunut, itu persoalan cabang karena kita mengikuti Syafi’i. Dan perlu diingat, Imam Syafi’i itu orang Arab keturunan Qura’isy yang lahir di Palestina, karena itu pandangan-pandangannya sangat Arabis.

Soal shalat, misalnya, sudah pasti Imam Syafi’i mewajibkan salat dalam bahasa Arab. Tidak sah salat selain dalam bahasa Arab karena pedomannya qath’i: صلوا كما رايتموني اصلي. Ini berbeda dengan Imam Hanafi yang orang Persia. Dalam sebuah qaul, Imam Hanafi membolehkan salat dalam bahasa Persia, meski yang utama pakai bahasa Arab. Jadi tidak masuk akal tudingan pencela NU yang bilang Islam Nusantara itu anti-Arab. 

Nabi kita orang Arab dan NU sangat ta’dzim kepada habaib keturunan Nabi. Salat kita pakai bahasa Arab. Tidak pernah ada bahtsul masâ’il di NU yang membolehkan salat pakai bahasa Jawa. Bahkan nama-nama keluarga santri NU hampir rata-rata nama Arab, termasuk saya. Rasanya tidak mantap kalau santri NU tidak pakai nama Arab.

Lucunya, pencela NU yang bilang Islam Nusantara itu anti-Arab, seringkali asal namanya sendiri justru nama Nusantara yang kemudian “di-Arab-Arabkan,” pakai ganti nama atau ditambah embel Abu-Abi atau Ummu-Ummi. Masih soal shalat, orang Arab pakai jubah dan umamah (surban udeng-udeng), kita pakai batik dan kopiah. Itulah Islam Nusantara. Sebelum shalat puji-pujian, setelah salat dzikir bareng dan mushafahah. Itulah Islam Nusantara. Nabi tidak mengajarkannya, tetapi juga tidak melarangnya. 

Soal zakat, kita jalankan zakat, tetapi objeknya tidak sama dengan orang Arab. Orang Arab zakat fitrah pakai kurma atau gandum, kita pakai beras. Itulah Islam Nusantara. 

Soal puasa, kita sama-sama tidak makan-minum dan jima’ dari subuh sampai maghrib. Tidak ada NU mengajarkan puasa ngebleng, puasa semalam suntuk karena Nabi tidak mengajarkannya. Tetapi soal menu buka puasa, orang Arab pakai kurma, kita kolak pisang. Itulah Islam Nusantara. Lepas bulan puasa, kita halal bi halal, didahului acara mudik kolosal. Itulah Islam Nusantara.

Soal haji, kita sama-sama pergi ke Arab, tidak ke Parung. Tetapi, soal dulu Nabi ke Makkah pakai unta atau kuda dan kita sekarang terbang pakai pesawat, itu soal teknis dan sama sekali bukan bid’ah. 

Orang Arab tidak punya budaya slametan. rang Jawa hobi ‘cangkruk’, slametan yang isinya keplek dan nenggak miras. Walisongo datang, slametannya dipertahankan, tetapi isinya diganti tahlil dan salawat. Keplek dan mirasnya diganti berkat. Namanya tahlilan. Itulah Islam Nusantara. 

Orang Arab itu egaliter. Memanggil Nabi yang mulia tidak ada bedanya dengan memanggil penggembala domba, “Ya Muhammad.” Orang Jawa punya budaya unggah-ungguh, stratanya canggih dan rumit. ‘Njangkar’ alias manggil orang mulia apa adanya itu saru alias tabu. Ada embel-embel Ngarso Ndalem, Sinuhun, dan seterusnya. Karena itu, orang Arab shalawatnya cukup pakai redaksi اللهم صل على محمد, orang NU ditambah kata Sayyidina (سيدنا). Itulah Islam Nusantara. 

Jadi Islam Nusantara itu bukan barang baru, itu soal ganti casing. Kalau ada yang ingin dipertegas dari Islam Nusantara adalah pandangan politiknya. Islam Nusantara itu pendukung sintesis Islam dan kebangsaan. NKRI final, titik. Tidak ada khilafah sebagai sistem politik. NKRI yang isinya pembangunan inklusif, ekonomi berdikari, dan minim ketimpangan, itu sudah Islami. Itu yang harus didorong. Tidak ada lagi membentuk Negara Islam.

Manifestasi Islam Nusantara itu bukan hanya dalam fikrah dîniyah (agama), tetapi juga siyâsiyah (politik) dan iqtishâdiyah (ekonomi). Fikrah diniyah-nya tawassuth, fikrah siyâsiyah-nya NKRI, fikrah iqtishadiyah-nya ekonomi konstusi. Jadilah Negara Kesejahteraan Pancasila. Inilah tema Kongres II ISNU yang Insyaallah digelar di Bandung, 24-26 Agustus 2018 mendatang bertajuk Pembangunan Inklusif dan Islam Nusantara Menyongsong Se-Abad Indonesia sebagai Negara Kesejahteraan Pancasila. 

Inti gagasan ini sederhana, kita ingin membangun Indonesia berdasarkan agama. Artinya kita tidak ingin membentuk Indonesia sebagai negara sekuler. Tetapi agama seperti apa yang ingin kita tegakkan? Agama yang ramah, toleran, inklusif, yang menunjang Pembangunan Indonesia, bukan Pembangunan di Indonesia. Tentu ada beda antara pembangunan Indonesia dan pembangunan di Indonesia.

Pembangunan Indonesia merefleksikan bahwa pelaku dan penerima manfaat pembangunan adalah rakyat Indonesia. Sementara Pembangunan di Indonesia adalah pembangunan oleh siapa saja di Indonesia, tidak peduli siapa pelaku dan penerima manfaatnya. Karena Indonesia mayoritas muslim, agama di sini adalah Islam. Jadi Islam yang ingin kita tegakkan adalah Islam nasionalis, Islam inklusif yang mendukung pembangunan inklusif. Itulah Islam Nusantara.  

Kalau kalian punya persepsi lain tentang Islam Nusantara, itu urusan kalian. Kami tidak mengurusi keyakinan orang lain. Kami hanya mengurusi keyakinan kami sendiri. Kami hanya ingin jadi umat Kanjeng Nabi Muhammad SAW dengan segala ekspresi kami sebagai orang Jawa, orang Sunda, orang Minang, orang Dayak, orang Bugis, orang Melayu, dan lain-lain.

Kalau kalian menganggap ber-Islam harus sama atau semakin dekat dengan budaya Arab, silakan saja, asal kalian menghormati tempat bumi berpijak, Indonesia dan tidak berencana merusaknya. Indonesia dengan segala warna-warninya adalah anugerah bagi kita semua.


Oleh M. Kholid Syeirazi
Penulis adalah Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)

Thursday, April 12, 2018

NU dalam Pusaran Pilkada

foto Ilustrasi | Doc. Sahara

NU dalam Pusaran Pilkada 

Tepat pada 31 Januari 1926 yang lalu NU Lahir dan tahun ini NU telah berusia 92 tahun. Sebuah usia yang tidak lagi muda bagi sebuah organisasi sosial keagamaan yang telah mewarnai berbagai kancah sosial, agama, dan politik di Tanah Air. Tahun 2018 juga banyak disebut berbagai kalangan sebagai tahun politik, mulai dari pilkada, pilgub, hingga persiapan Pileg dan Pilpres Serentak 2019. Mesin politik parpol sudah mulai dipanaskan. Bunyi meraung-raung dari berbagai jenis mesin politik acap memekakkan telinga rakyat karena kerasnya pedal gas yang diinjak untuk memanaskan mesin-mesin tersebut. Salah satu bentuk dari pedal gas tersebut adalah berebut pengaruh ormas keagamaan dan kepemudaan. Demikian juga halnya yang terjadi di Bumi Ruwa Jurai. Bahkan, di Lampung tidak hanya pilkada, pilgub, dan persiapan pileg, tetapi juga ada pemilihan yang tidak kalah strategisnya terhadap hitam-putihnya politik Lampung, yaitu diselenggarakannya Konferwil NU di Lampung Tengah pada Maret nanti. Puncaknya adalah pemilihan ketua tanfidziah yang akan menakhodai NU Lampung selama lima tahun ke depan. Sebagaimana diketahui, ada lima kabupaten di Lampung yang mempunyai kepala daerah dan wakil kepala daerah berlatar belakang NU, yaitu Pringsewu, Pesisir Barat, Tulangbawang Barat, sedangkan untuk Tanggamus kepala daerahnya mencalonkan kembali sebagai petahana dalam Pilkada Tanggamus dan Lampung Timur yang kepala daerahnya mencoba peruntungan dengan naik level menjadi calon wagub Provinsi Lampung. Selain itu, ada beberapa daerah yang menjadi basis atau kantong-kantong warga NU seperti Lampung Tengah, Lampung Barat, dan Metro.

Menghadapi tahun politik seperti ini sering menjadikan pilihan yang dilematis bagi NU: antara masuk atau terjun dalam politik praktis dengan harapan dapat mengubah kebijakan pemerintah atau tetap dalam posisinya sebagai lembaga sosial keagamaan yang harus menyuarakan politik tingkat tinggi berupa pemberdayaan masyarakat. Namun, secara personal, baik mereka yang aktif dalam kepengurusan maupun, tidak diperbolehkan untuk masuk gelanggang politik praktis dengan terlebih dulu meninggalkan label NU di belakanganya. Namun, hal ini tidaklah mudah baik bagi pengurus yang secara struktural mendapatkan kedudukan maupun kultural pada masyarakat akar rumput.

NU dan PKB


Antara NU dan PKB—yang didirikan pada tanggal 23 Juli 1998 di Ciganjur, Jakarta, atau tepatnya di rumah KH Abdurrahman Wahid yang pada waktu itu masih menjabat sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)—memiliki hubungan yang cukup erat. Maka, tidak mengherankan antara PKB dan NU tidak dapat dilepaskan begitu saja meskipun dengan berbagai cara atau strategi untuk memisahkannya dengan menyatakan NU adalah organisasi sosial keagamaan, sedangkan PKB adalah organisasi politik yang terbuka untuk semua golongan. Namun, pada hakikatnya banyak rekrutmen politik PKB baik di tingkat nasional maupun daerah yang mengandalkan pengaruh NU sebagai senjata utamanya. Bagi NU, keberadaan PKB adalah sebagai penyambung lidah pemikiran-pemikiran NU dalam tataran kebijakan di lapangan. Banyak dari hasil pemikiran NU yang dapat memengaruhi kebijakan Pemerintah Pusat karena dikawal oleh PKB, seperti peringatan Hari Santri pada 22 Oktober, perhelatan Liga Santri Nusantara, penolakan penerapan full day school, dsb. Namun, kedekatan NU dengan PKB akhir-akhir ini mendapat sorotan serius dari para ulama sepuh. NU yang dianggap sebagai orang tua pencetus lahirnya PKB justru banyak kebijakan NU yang dikendalikan PKB. Cukup banyak kader PKB yang akhirnya menduduki jabatan struktural strategis di NU sehingga banyak kebijakan NU akhirnya hanya untuk mendukung suksesnya PKB, bukan sebaliknya PKB yang harus mendukung kebijakan NU. Atau, dalam bahasa lain, orang tua (baca :NU) sudah mulai didikte oleh anaknya (baca: PKB). NU dalam Pusaran Pilkada Nahdlatul Ulama adalah organisasi jam’iyah keagamaan yang didirikan alim ulama pada 31 Januari 1926 di Surabaya dan menganut paham ahlus sunnah wal jama’ah. Dalam hal fikih, NU berkiblat pada empat mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafi’i, meskipun dalam praktiknya mazhab Imam Syafi’i-lah yang sering digunakan. Untuk masalah metode akidah, NU merujuk pada Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Dalam bidang tasawuf, NU mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaedi Al-Bahdadi. Sebagai organisasi sosial keagamaan yang telah tumbuh dan berkembang semenjak lama dengan pengikut yang tersebar dari Sabang sampai Merauke bahkan hingga ada cabang NU di Jepang, Australia, dan Mesir menjadikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar tidak hanya di Indonesia, bahkan dunia. Wajar jika hampir di setiap pelaksanaan pemilihan, dukungan suara kaum nahdliyin selalu diperebutkan kandidat karena suara jemaah NU yang signifikan dalam memenangkan pemilu. Ditambah pula nanti pada Maret 2018 NU Lampung akan mempunyai hajat besar, yaitu kongres wilayah, yang puncak acaranya adalah pemilihan ketua umum NU Wilayah Lampung masa bakti 2018—2023. Uniknya, di sela-sela acara kongres wilayah, panitia telah menyelipkan dialog publik yang mendatangkan para calon gubernur dan wakil gubernur Lampung untuk melakukan dialog secara bergantian kepada pengurus PWNU, PCNU, dan ranting-ranting yang tersebar di seluruh Lampung. Acara dialog publik ini di satu sisi akan menunjukkan besarnya pengaruh NU terhadap kekuatan dan kemenangan para calon. Namun, di sisi lain, jika tidak disikapi dengan arif, akan banyak pemain yang mencoba mengail ikan di air yang keruh. Dalam artian, berusaha mencari keuntungan dengan memanfaatkan NU untuk mendekatkan kepada salah satu calon yang implikasinya nama NU akan menjadi tergadaikan. Akhirnya, hajatan lima tahunan ini NU secara kelembagaan hanya sebagai objek politik, bukan subjek politik. Wallahualam.

Penulis : Iwan Satriawan S.H., M.H. 
editor : Riski Firmanto

Saturday, April 7, 2018

Pribumisasi dan Islam Nusantara

Penulis : Iwan Satriawan SH.,M.H. (Santri Pondok Pesantren di Jombang, Jawa Timur)
Opini : Pribumisasi dan Islam Nusantara
www.sahabatnusantara.com



Pribumisasi dan Islam Nusantara

Dalam berbagai literatur yang kita baca mengenai sejarah masuknya Islam ke Indonesia adalah dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat. Namun, ada teori lain yang menyatakan tidak hanya pedagang-pedagang dari Gujarat. Para pedagang dari Champa, China, bahkan Arab ikut berpengaruh dalam penyebaran Islam di Indonesia. Uniknya lagi, masuknya Islam ke Nusantara bukan melalui peperangan dan pemaksaan, melainkan lebih kepada asimilasi, akulturasi, dan bersifat damai.
Berdasar pada hal tersebut, wajar jika kemudian perkembangan dan ritual peribadatan umat Islam mempunyai kecenderungan yang berbeda dengan Arab, karena setiap pedagang atau penyebar Islam tersebut membawa pengaruh daerahnya masing-masing. Misal pengaruh muslim Tionghoa dalam penyebaran Islam setidaknya terlihat pada bukti masjid-masjid kuno seperti Masjid Agung Demak, Masjid Agung Kasepuhan Cirebon, dan Masjid Agung Kudus. Dindingnya banyak ditempeli piringan porselen dari Dinasti Ming. Bahkan, baju muslim model baju koko adalah akibat dari pengaruh Tionghoa.

Sedangkan pengaruh muslim India yang juga dipengaruhi Persia membawa dampak pada perkembangan Islam di Indonesia khususnya dalam hal karya sastra munculnya Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bulan Terbelah, dan Hikayat Wafatnya Nabi. Kemudian pengaruh India, Persia juga terletak pada sistem pengajaran membaca Alquran yang menggunakan istilah-istilah berbahasa Persia seperti harakat jabar untuk fatkha, jer untuk kasroh, dan pes untuk dhommah. Namun, kita juga tidak dapat melupakan pengaruh bangsa Arab dalam penyebarannya juga. Dalam bidang bahasa, kosakata sejarah berasal dari bahasa arab yaitu sajaratun. Kitab berasal dari kata kutubun, shabar menjadi sabar, ‘adil menjadi adil, syuro menjadi musyawarah. Beberapa nama penduduk Indonesia adalah percampuran antara nama arab dan nama khas Indonesia.

Pribumisasi Islam 

Konsep pribumisasi Islam pada awalnya digagas oleh mendiang almarhum Gus Dur. Menurut beliau, agama selain memiliki dimensi keimanan dan ketuhanan yang sakral dan mutlak, juga memiliki dimensi kebudayaan atau kultural yang melahirkan simbol dan ritus. Bahkan, beliau menambahkan tidak semua ritus dan dan simbol sebagai sesuatu yang baku dan dianggap sebagai ajaran yang harus dijaga dan dipertahankan. Karena di dalam agama ada dimensi kebudayaan yang terkadang menjelma menjadi simbol dan ritus. Contoh yang paling konkret adalah penggunaan siwak dan berbuka dengan kurma. Kedua hal ini adalah pengaruh dari budaya Arab yang karena menurut nabi Muhammad SAW baik dan tidak bertentangan dengan syariat maka disunahkan penggunaannya.

Mengapa tidak diwajibkan? Karena Nabi menyakini bahwa Islam akan tersebar ke seluruh dunia yang mana tidak semua daerah tumbuh kurma dan siwak, maka hanya disunahkan. Maka dapat kita bayangkan akan susahnya orang Indonesia harus makan kurma dan siwak. Berapa juta uang harus dikeluarkan negara ini hanya untuk mengimpor kurma dan siwak setiap hari?

Implementasi pemikiran Gus Dur yang mencoba memadukan antara budaya lokal dan norma agama inilah yang kemudian oleh beliau disebut dengan pribumisasi Islam. Intinya bagaimana sebanyak mungkin kaum muslimin menyerap adat dan budaya lokal ke dalam Islam.
Contohnya adalah penggunaan kalimat tabik pun setelah salam. Ini juga perpaduan norma agama dan budaya lokal. Atau juga falsafah hidup orang Lampung yang terangkum dalam piil pesenggiri. Ini tidak bertentangan dengan Islam, dapat terus dipertahankan tanpa harus mengubahnya dalam bahasa Arab. 

Islam Nusantara

Islam Nusantara merupakan kelanjutan dari konsep pribumisasi Islam oleh Gus Dur. Islam Nusantara bukan merupakan paham baru dalam dunia Islam atau bahkan agama baru dengan Nabi baru. Islam Nusantara merupakan pengejawantahan dari prinsip “al-muhafadzah ala al qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” yaitu tetap memegang tradisi yang positif dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang positif pula. Atau dalam bahasa lain, konsep Islam Nusantara adalah mengambil hal-hal yang ajaran Islam namun tetap mempertahankan adat istiadat yang positif dan khas Nusantara. Berangkat dari hal tersebut Islam Nusantara hadir sebagai bentuk kearifan lokal (local wisdom) yang tetap mengindahkan maqosidush syari’ah (tujuan penerapan hukum Islam) yaitu mabadi khoiro ummah (kemaslahatan umat), karena tanpa itu semua ajaran Islam tidak akan mungkin bisa abadi sampai saat ini.

Islam Nusantara tidak juga mengganti hal-hal yang qothi’ atau pasti dalam ajaran Islam seperti bacaan salat dan azan yang harus tetap memakai bahasa Arab. Kiblat yang ada di Mekah, Nabi Muhammad saw sebagai Nabi akhir zaman, puasa bulan Ramadan, kewajiban zakat, atau bahkan bertuhan selain Allah swt. Namun Islam Nusantara berusaha menjadikan Islam sebagai agama yang inklusif dan responsif. Bukan sebagai sebuah doktrin agama yang kaku sehingga menimbulkan kejumudan umatnya dalam beragama. Umat Islam diajak kreatif untuk dapat membedakan mana ajaran dan mana budaya, sehingga kedatangan Islam tidak hendak mencerabut umat dari budaya, namun justru melengkapi dan memperbaiki dari budaya-budaya tersebut yang sudah tumbuh dan berkembang sebelum Islam datang.

Maka, dalam praktiknya ada beberapa warisan dari agama Kapitayan dan Hindu-Buddha yang kemudian diambil secara utuh oleh Islam Nusantara. Misalnya, pemukulan beduk sebagai pertanda masuknya waktu salat dan pembuatan tumpeng dalam acara-acara selamatan. Juga keberadaan pesantren yang merupakan hasil asimilasi Hindu-Buddha. Bahkan, kopiah hitam sebagai ciri khas orang Indonesia tetap dipertahankan dan menjadi kopiah nasional yang mana setiap pelantikan pejabat negara menjadi suatu kewajiban. 

Bukan Dikotomi

Sebagaimana dikemukakan oleh Gus Dur, bahwa pribumisasi Islam adalah sebuah upaya membalikkan arus perjalanan Islam di Indonesia dari formalisme berbentuk Arabisasi total menjadi kesadaran akan perlunya dipupuk kembali akar-akar budaya lokal tanpa mengurangi substansi dalam beragama. Pribumisasi Islam bukan memupuk dikotomi antara Islam Arab, Islam Indonesia, atau bahkan Islam Afrika. Terlalu naif jika kita berpendapat seperti itu. Sama persis dengan adanya peringatan Hari Ibu, Hari Batik, atau Hari Kartini, bukan berarti menafikan perjuangan seorang ayah, kain songket, dan hari Sudirman, bahkan. Keberadaan pribumisasi Islam adalah untuk mengokohkan akar budaya setiap bangsa. Namun, dengan tetap berusaha menciptakan manusia yang taat dalam menjalankan ajaran agamanya. 

Penulis : Iwan Satriawan SH.,M.H.
Editor : Riski Firmanto