foto Ilustrasi | Doc. Sahara |
NU dalam Pusaran Pilkada
Tepat pada 31 Januari 1926 yang lalu NU Lahir dan tahun ini NU telah berusia 92 tahun. Sebuah usia yang tidak lagi muda bagi sebuah organisasi sosial keagamaan yang telah mewarnai berbagai kancah sosial, agama, dan politik di Tanah Air. Tahun 2018 juga banyak disebut berbagai kalangan sebagai tahun politik, mulai dari pilkada, pilgub, hingga persiapan Pileg dan Pilpres Serentak 2019. Mesin politik parpol sudah mulai dipanaskan. Bunyi meraung-raung dari berbagai jenis mesin politik acap memekakkan telinga rakyat karena kerasnya pedal gas yang diinjak untuk memanaskan mesin-mesin tersebut. Salah satu bentuk dari pedal gas tersebut adalah berebut pengaruh ormas keagamaan dan kepemudaan. Demikian juga halnya yang terjadi di Bumi Ruwa Jurai. Bahkan, di Lampung tidak hanya pilkada, pilgub, dan persiapan pileg, tetapi juga ada pemilihan yang tidak kalah strategisnya terhadap hitam-putihnya politik Lampung, yaitu diselenggarakannya Konferwil NU di Lampung Tengah pada Maret nanti. Puncaknya adalah pemilihan ketua tanfidziah yang akan menakhodai NU Lampung selama lima tahun ke depan. Sebagaimana diketahui, ada lima kabupaten di Lampung yang mempunyai kepala daerah dan wakil kepala daerah berlatar belakang NU, yaitu Pringsewu, Pesisir Barat, Tulangbawang Barat, sedangkan untuk Tanggamus kepala daerahnya mencalonkan kembali sebagai petahana dalam Pilkada Tanggamus dan Lampung Timur yang kepala daerahnya mencoba peruntungan dengan naik level menjadi calon wagub Provinsi Lampung. Selain itu, ada beberapa daerah yang menjadi basis atau kantong-kantong warga NU seperti Lampung Tengah, Lampung Barat, dan Metro.
Menghadapi tahun politik seperti ini sering menjadikan pilihan yang dilematis bagi NU: antara masuk atau terjun dalam politik praktis dengan harapan dapat mengubah kebijakan pemerintah atau tetap dalam posisinya sebagai lembaga sosial keagamaan yang harus menyuarakan politik tingkat tinggi berupa pemberdayaan masyarakat. Namun, secara personal, baik mereka yang aktif dalam kepengurusan maupun, tidak diperbolehkan untuk masuk gelanggang politik praktis dengan terlebih dulu meninggalkan label NU di belakanganya. Namun, hal ini tidaklah mudah baik bagi pengurus yang secara struktural mendapatkan kedudukan maupun kultural pada masyarakat akar rumput.
NU dan PKB
Antara NU dan PKB—yang didirikan pada tanggal 23 Juli 1998 di Ciganjur, Jakarta, atau tepatnya di rumah KH Abdurrahman Wahid yang pada waktu itu masih menjabat sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)—memiliki hubungan yang cukup erat. Maka, tidak mengherankan antara PKB dan NU tidak dapat dilepaskan begitu saja meskipun dengan berbagai cara atau strategi untuk memisahkannya dengan menyatakan NU adalah organisasi sosial keagamaan, sedangkan PKB adalah organisasi politik yang terbuka untuk semua golongan. Namun, pada hakikatnya banyak rekrutmen politik PKB baik di tingkat nasional maupun daerah yang mengandalkan pengaruh NU sebagai senjata utamanya. Bagi NU, keberadaan PKB adalah sebagai penyambung lidah pemikiran-pemikiran NU dalam tataran kebijakan di lapangan. Banyak dari hasil pemikiran NU yang dapat memengaruhi kebijakan Pemerintah Pusat karena dikawal oleh PKB, seperti peringatan Hari Santri pada 22 Oktober, perhelatan Liga Santri Nusantara, penolakan penerapan full day school, dsb. Namun, kedekatan NU dengan PKB akhir-akhir ini mendapat sorotan serius dari para ulama sepuh. NU yang dianggap sebagai orang tua pencetus lahirnya PKB justru banyak kebijakan NU yang dikendalikan PKB. Cukup banyak kader PKB yang akhirnya menduduki jabatan struktural strategis di NU sehingga banyak kebijakan NU akhirnya hanya untuk mendukung suksesnya PKB, bukan sebaliknya PKB yang harus mendukung kebijakan NU. Atau, dalam bahasa lain, orang tua (baca :NU) sudah mulai didikte oleh anaknya (baca: PKB). NU dalam Pusaran Pilkada Nahdlatul Ulama adalah organisasi jam’iyah keagamaan yang didirikan alim ulama pada 31 Januari 1926 di Surabaya dan menganut paham ahlus sunnah wal jama’ah. Dalam hal fikih, NU berkiblat pada empat mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafi’i, meskipun dalam praktiknya mazhab Imam Syafi’i-lah yang sering digunakan. Untuk masalah metode akidah, NU merujuk pada Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Dalam bidang tasawuf, NU mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaedi Al-Bahdadi. Sebagai organisasi sosial keagamaan yang telah tumbuh dan berkembang semenjak lama dengan pengikut yang tersebar dari Sabang sampai Merauke bahkan hingga ada cabang NU di Jepang, Australia, dan Mesir menjadikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar tidak hanya di Indonesia, bahkan dunia. Wajar jika hampir di setiap pelaksanaan pemilihan, dukungan suara kaum nahdliyin selalu diperebutkan kandidat karena suara jemaah NU yang signifikan dalam memenangkan pemilu. Ditambah pula nanti pada Maret 2018 NU Lampung akan mempunyai hajat besar, yaitu kongres wilayah, yang puncak acaranya adalah pemilihan ketua umum NU Wilayah Lampung masa bakti 2018—2023. Uniknya, di sela-sela acara kongres wilayah, panitia telah menyelipkan dialog publik yang mendatangkan para calon gubernur dan wakil gubernur Lampung untuk melakukan dialog secara bergantian kepada pengurus PWNU, PCNU, dan ranting-ranting yang tersebar di seluruh Lampung. Acara dialog publik ini di satu sisi akan menunjukkan besarnya pengaruh NU terhadap kekuatan dan kemenangan para calon. Namun, di sisi lain, jika tidak disikapi dengan arif, akan banyak pemain yang mencoba mengail ikan di air yang keruh. Dalam artian, berusaha mencari keuntungan dengan memanfaatkan NU untuk mendekatkan kepada salah satu calon yang implikasinya nama NU akan menjadi tergadaikan. Akhirnya, hajatan lima tahunan ini NU secara kelembagaan hanya sebagai objek politik, bukan subjek politik. Wallahualam.
Penulis : Iwan Satriawan S.H., M.H.
editor : Riski Firmanto
No comments:
Post a Comment