Saturday, April 7, 2018

Pribumisasi dan Islam Nusantara

Penulis : Iwan Satriawan SH.,M.H. (Santri Pondok Pesantren di Jombang, Jawa Timur)
Opini : Pribumisasi dan Islam Nusantara
www.sahabatnusantara.com



Pribumisasi dan Islam Nusantara

Dalam berbagai literatur yang kita baca mengenai sejarah masuknya Islam ke Indonesia adalah dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat. Namun, ada teori lain yang menyatakan tidak hanya pedagang-pedagang dari Gujarat. Para pedagang dari Champa, China, bahkan Arab ikut berpengaruh dalam penyebaran Islam di Indonesia. Uniknya lagi, masuknya Islam ke Nusantara bukan melalui peperangan dan pemaksaan, melainkan lebih kepada asimilasi, akulturasi, dan bersifat damai.
Berdasar pada hal tersebut, wajar jika kemudian perkembangan dan ritual peribadatan umat Islam mempunyai kecenderungan yang berbeda dengan Arab, karena setiap pedagang atau penyebar Islam tersebut membawa pengaruh daerahnya masing-masing. Misal pengaruh muslim Tionghoa dalam penyebaran Islam setidaknya terlihat pada bukti masjid-masjid kuno seperti Masjid Agung Demak, Masjid Agung Kasepuhan Cirebon, dan Masjid Agung Kudus. Dindingnya banyak ditempeli piringan porselen dari Dinasti Ming. Bahkan, baju muslim model baju koko adalah akibat dari pengaruh Tionghoa.

Sedangkan pengaruh muslim India yang juga dipengaruhi Persia membawa dampak pada perkembangan Islam di Indonesia khususnya dalam hal karya sastra munculnya Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bulan Terbelah, dan Hikayat Wafatnya Nabi. Kemudian pengaruh India, Persia juga terletak pada sistem pengajaran membaca Alquran yang menggunakan istilah-istilah berbahasa Persia seperti harakat jabar untuk fatkha, jer untuk kasroh, dan pes untuk dhommah. Namun, kita juga tidak dapat melupakan pengaruh bangsa Arab dalam penyebarannya juga. Dalam bidang bahasa, kosakata sejarah berasal dari bahasa arab yaitu sajaratun. Kitab berasal dari kata kutubun, shabar menjadi sabar, ‘adil menjadi adil, syuro menjadi musyawarah. Beberapa nama penduduk Indonesia adalah percampuran antara nama arab dan nama khas Indonesia.

Pribumisasi Islam 

Konsep pribumisasi Islam pada awalnya digagas oleh mendiang almarhum Gus Dur. Menurut beliau, agama selain memiliki dimensi keimanan dan ketuhanan yang sakral dan mutlak, juga memiliki dimensi kebudayaan atau kultural yang melahirkan simbol dan ritus. Bahkan, beliau menambahkan tidak semua ritus dan dan simbol sebagai sesuatu yang baku dan dianggap sebagai ajaran yang harus dijaga dan dipertahankan. Karena di dalam agama ada dimensi kebudayaan yang terkadang menjelma menjadi simbol dan ritus. Contoh yang paling konkret adalah penggunaan siwak dan berbuka dengan kurma. Kedua hal ini adalah pengaruh dari budaya Arab yang karena menurut nabi Muhammad SAW baik dan tidak bertentangan dengan syariat maka disunahkan penggunaannya.

Mengapa tidak diwajibkan? Karena Nabi menyakini bahwa Islam akan tersebar ke seluruh dunia yang mana tidak semua daerah tumbuh kurma dan siwak, maka hanya disunahkan. Maka dapat kita bayangkan akan susahnya orang Indonesia harus makan kurma dan siwak. Berapa juta uang harus dikeluarkan negara ini hanya untuk mengimpor kurma dan siwak setiap hari?

Implementasi pemikiran Gus Dur yang mencoba memadukan antara budaya lokal dan norma agama inilah yang kemudian oleh beliau disebut dengan pribumisasi Islam. Intinya bagaimana sebanyak mungkin kaum muslimin menyerap adat dan budaya lokal ke dalam Islam.
Contohnya adalah penggunaan kalimat tabik pun setelah salam. Ini juga perpaduan norma agama dan budaya lokal. Atau juga falsafah hidup orang Lampung yang terangkum dalam piil pesenggiri. Ini tidak bertentangan dengan Islam, dapat terus dipertahankan tanpa harus mengubahnya dalam bahasa Arab. 

Islam Nusantara

Islam Nusantara merupakan kelanjutan dari konsep pribumisasi Islam oleh Gus Dur. Islam Nusantara bukan merupakan paham baru dalam dunia Islam atau bahkan agama baru dengan Nabi baru. Islam Nusantara merupakan pengejawantahan dari prinsip “al-muhafadzah ala al qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” yaitu tetap memegang tradisi yang positif dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang positif pula. Atau dalam bahasa lain, konsep Islam Nusantara adalah mengambil hal-hal yang ajaran Islam namun tetap mempertahankan adat istiadat yang positif dan khas Nusantara. Berangkat dari hal tersebut Islam Nusantara hadir sebagai bentuk kearifan lokal (local wisdom) yang tetap mengindahkan maqosidush syari’ah (tujuan penerapan hukum Islam) yaitu mabadi khoiro ummah (kemaslahatan umat), karena tanpa itu semua ajaran Islam tidak akan mungkin bisa abadi sampai saat ini.

Islam Nusantara tidak juga mengganti hal-hal yang qothi’ atau pasti dalam ajaran Islam seperti bacaan salat dan azan yang harus tetap memakai bahasa Arab. Kiblat yang ada di Mekah, Nabi Muhammad saw sebagai Nabi akhir zaman, puasa bulan Ramadan, kewajiban zakat, atau bahkan bertuhan selain Allah swt. Namun Islam Nusantara berusaha menjadikan Islam sebagai agama yang inklusif dan responsif. Bukan sebagai sebuah doktrin agama yang kaku sehingga menimbulkan kejumudan umatnya dalam beragama. Umat Islam diajak kreatif untuk dapat membedakan mana ajaran dan mana budaya, sehingga kedatangan Islam tidak hendak mencerabut umat dari budaya, namun justru melengkapi dan memperbaiki dari budaya-budaya tersebut yang sudah tumbuh dan berkembang sebelum Islam datang.

Maka, dalam praktiknya ada beberapa warisan dari agama Kapitayan dan Hindu-Buddha yang kemudian diambil secara utuh oleh Islam Nusantara. Misalnya, pemukulan beduk sebagai pertanda masuknya waktu salat dan pembuatan tumpeng dalam acara-acara selamatan. Juga keberadaan pesantren yang merupakan hasil asimilasi Hindu-Buddha. Bahkan, kopiah hitam sebagai ciri khas orang Indonesia tetap dipertahankan dan menjadi kopiah nasional yang mana setiap pelantikan pejabat negara menjadi suatu kewajiban. 

Bukan Dikotomi

Sebagaimana dikemukakan oleh Gus Dur, bahwa pribumisasi Islam adalah sebuah upaya membalikkan arus perjalanan Islam di Indonesia dari formalisme berbentuk Arabisasi total menjadi kesadaran akan perlunya dipupuk kembali akar-akar budaya lokal tanpa mengurangi substansi dalam beragama. Pribumisasi Islam bukan memupuk dikotomi antara Islam Arab, Islam Indonesia, atau bahkan Islam Afrika. Terlalu naif jika kita berpendapat seperti itu. Sama persis dengan adanya peringatan Hari Ibu, Hari Batik, atau Hari Kartini, bukan berarti menafikan perjuangan seorang ayah, kain songket, dan hari Sudirman, bahkan. Keberadaan pribumisasi Islam adalah untuk mengokohkan akar budaya setiap bangsa. Namun, dengan tetap berusaha menciptakan manusia yang taat dalam menjalankan ajaran agamanya. 

Penulis : Iwan Satriawan SH.,M.H.
Editor : Riski Firmanto

No comments:

Post a Comment