Penulis : Iwan Satriawan SH.,M.H. (Santri Pondok Pesantren di Jombang, Jawa Timur) Opini : Pribumisasi dan Islam Nusantara www.sahabatnusantara.com |
Pribumisasi
dan Islam Nusantara
Dalam berbagai literatur yang kita baca mengenai
sejarah masuknya Islam ke Indonesia adalah dibawa oleh pedagang-pedagang dari
Gujarat. Namun, ada teori lain yang menyatakan tidak hanya pedagang-pedagang
dari Gujarat. Para pedagang dari Champa, China, bahkan Arab ikut berpengaruh
dalam penyebaran Islam di Indonesia. Uniknya lagi, masuknya Islam ke Nusantara
bukan melalui peperangan dan pemaksaan, melainkan lebih kepada asimilasi,
akulturasi, dan bersifat damai.
Berdasar pada hal tersebut, wajar jika kemudian
perkembangan dan ritual peribadatan umat Islam mempunyai kecenderungan yang
berbeda dengan Arab, karena setiap pedagang atau penyebar Islam tersebut
membawa pengaruh daerahnya masing-masing. Misal pengaruh muslim Tionghoa dalam
penyebaran Islam setidaknya terlihat pada bukti masjid-masjid kuno seperti
Masjid Agung Demak, Masjid Agung Kasepuhan Cirebon, dan Masjid Agung Kudus.
Dindingnya banyak ditempeli piringan porselen dari Dinasti Ming. Bahkan, baju
muslim model baju koko adalah akibat dari pengaruh Tionghoa.
Sedangkan pengaruh muslim India yang juga
dipengaruhi Persia membawa dampak pada perkembangan Islam di Indonesia
khususnya dalam hal karya sastra munculnya Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bulan
Terbelah, dan Hikayat Wafatnya Nabi. Kemudian pengaruh India, Persia juga
terletak pada sistem pengajaran membaca Alquran yang menggunakan
istilah-istilah berbahasa Persia seperti harakat jabar untuk fatkha, jer untuk
kasroh, dan pes untuk dhommah. Namun, kita juga tidak dapat melupakan pengaruh
bangsa Arab dalam penyebarannya juga. Dalam bidang bahasa, kosakata sejarah
berasal dari bahasa arab yaitu sajaratun. Kitab berasal dari kata kutubun,
shabar menjadi sabar, ‘adil menjadi adil, syuro menjadi musyawarah. Beberapa
nama penduduk Indonesia adalah percampuran antara nama arab dan nama khas
Indonesia.
Pribumisasi
Islam
Konsep pribumisasi Islam pada awalnya digagas oleh
mendiang almarhum Gus Dur. Menurut beliau, agama selain memiliki dimensi
keimanan dan ketuhanan yang sakral dan mutlak, juga memiliki dimensi kebudayaan
atau kultural yang melahirkan simbol dan ritus. Bahkan, beliau menambahkan
tidak semua ritus dan dan simbol sebagai sesuatu yang baku dan dianggap sebagai
ajaran yang harus dijaga dan dipertahankan. Karena di dalam agama ada dimensi
kebudayaan yang terkadang menjelma menjadi simbol dan ritus. Contoh yang paling
konkret adalah penggunaan siwak dan berbuka dengan kurma. Kedua hal ini adalah
pengaruh dari budaya Arab yang karena menurut nabi Muhammad SAW baik dan tidak
bertentangan dengan syariat maka disunahkan penggunaannya.
Mengapa tidak diwajibkan? Karena Nabi menyakini
bahwa Islam akan tersebar ke seluruh dunia yang mana tidak semua daerah tumbuh
kurma dan siwak, maka hanya disunahkan. Maka dapat kita bayangkan akan susahnya
orang Indonesia harus makan kurma dan siwak. Berapa juta uang harus dikeluarkan
negara ini hanya untuk mengimpor kurma dan siwak setiap hari?
Implementasi pemikiran Gus Dur yang mencoba
memadukan antara budaya lokal dan norma agama inilah yang kemudian oleh beliau
disebut dengan pribumisasi Islam. Intinya bagaimana sebanyak mungkin kaum
muslimin menyerap adat dan budaya lokal ke dalam Islam.
Contohnya adalah penggunaan kalimat tabik pun
setelah salam. Ini juga perpaduan norma agama dan budaya lokal. Atau juga
falsafah hidup orang Lampung yang terangkum dalam piil pesenggiri. Ini tidak
bertentangan dengan Islam, dapat terus dipertahankan tanpa harus mengubahnya
dalam bahasa Arab.
Islam
Nusantara
Islam Nusantara merupakan kelanjutan dari konsep
pribumisasi Islam oleh Gus Dur. Islam Nusantara bukan merupakan paham baru
dalam dunia Islam atau bahkan agama baru dengan Nabi baru. Islam Nusantara
merupakan pengejawantahan dari prinsip “al-muhafadzah ala al qadim al-shalih,
wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” yaitu tetap memegang tradisi yang positif
dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang positif pula. Atau dalam
bahasa lain, konsep Islam Nusantara adalah mengambil hal-hal yang ajaran Islam
namun tetap mempertahankan adat istiadat yang positif dan khas Nusantara.
Berangkat dari hal tersebut Islam Nusantara hadir sebagai bentuk kearifan lokal
(local wisdom) yang tetap mengindahkan maqosidush syari’ah (tujuan penerapan
hukum Islam) yaitu mabadi khoiro ummah (kemaslahatan umat), karena tanpa itu
semua ajaran Islam tidak akan mungkin bisa abadi sampai saat ini.
Islam Nusantara tidak juga mengganti hal-hal yang
qothi’ atau pasti dalam ajaran Islam seperti bacaan salat dan azan yang harus
tetap memakai bahasa Arab. Kiblat yang ada di Mekah, Nabi Muhammad saw sebagai
Nabi akhir zaman, puasa bulan Ramadan, kewajiban zakat, atau bahkan bertuhan
selain Allah swt. Namun Islam Nusantara berusaha menjadikan Islam sebagai agama
yang inklusif dan responsif. Bukan sebagai sebuah doktrin agama yang kaku
sehingga menimbulkan kejumudan umatnya dalam beragama. Umat Islam diajak
kreatif untuk dapat membedakan mana ajaran dan mana budaya, sehingga kedatangan
Islam tidak hendak mencerabut umat dari budaya, namun justru melengkapi dan
memperbaiki dari budaya-budaya tersebut yang sudah tumbuh dan berkembang
sebelum Islam datang.
Maka, dalam praktiknya ada beberapa warisan dari
agama Kapitayan dan Hindu-Buddha yang kemudian diambil secara utuh oleh Islam
Nusantara. Misalnya, pemukulan beduk sebagai pertanda masuknya waktu salat dan
pembuatan tumpeng dalam acara-acara selamatan. Juga keberadaan pesantren yang
merupakan hasil asimilasi Hindu-Buddha. Bahkan, kopiah hitam sebagai ciri khas
orang Indonesia tetap dipertahankan dan menjadi kopiah nasional yang mana
setiap pelantikan pejabat negara menjadi suatu kewajiban.
Bukan
Dikotomi
Sebagaimana dikemukakan oleh Gus Dur, bahwa
pribumisasi Islam adalah sebuah upaya membalikkan arus perjalanan Islam di
Indonesia dari formalisme berbentuk Arabisasi total menjadi kesadaran akan
perlunya dipupuk kembali akar-akar budaya lokal tanpa mengurangi substansi
dalam beragama. Pribumisasi Islam bukan memupuk dikotomi antara Islam Arab,
Islam Indonesia, atau bahkan Islam Afrika. Terlalu naif jika kita berpendapat
seperti itu. Sama persis dengan adanya peringatan Hari Ibu, Hari Batik, atau
Hari Kartini, bukan berarti menafikan perjuangan seorang ayah, kain songket,
dan hari Sudirman, bahkan. Keberadaan pribumisasi Islam adalah untuk
mengokohkan akar budaya setiap bangsa. Namun, dengan tetap berusaha menciptakan
manusia yang taat dalam menjalankan ajaran agamanya.
Penulis : Iwan Satriawan SH.,M.H.
Editor : Riski Firmanto
No comments:
Post a Comment