Tolak Hoax |
JAKARTA, SAHARA NEWS -- Kian lama hoax terasa kian liar. Media
sosial dan aplikasi obrolan makin sesak oleh informasi palsu yang meresahkan.
Kenapa itu terjadi?
Dilansir dari media Detik.com,- Pakar Komunikasi Digital Universitas Indonesia (UI) Dr Firman Kurniawan Sujono punya analisis soal kian liarnya hoax. Dia mengajukan dua teori.
"Teori pertama: manusia cenderung mengimitasi perilaku manusia lain. Dalam adanya perilaku tertentu yang mendatangkan daya tarik, maka akan diimitasi manusia lain," kata Pakar Komunikasi Digital UI, Dr Firman Kurniawan Sujono. Jumat (12/10/2018).
Dilansir dari media Detik.com,- Pakar Komunikasi Digital Universitas Indonesia (UI) Dr Firman Kurniawan Sujono punya analisis soal kian liarnya hoax. Dia mengajukan dua teori.
"Teori pertama: manusia cenderung mengimitasi perilaku manusia lain. Dalam adanya perilaku tertentu yang mendatangkan daya tarik, maka akan diimitasi manusia lain," kata Pakar Komunikasi Digital UI, Dr Firman Kurniawan Sujono. Jumat (12/10/2018).
Contohnya, kata Firman, ketika seseorang mem-posting kekhawatiran, kecemasan, ketakutannya di sebuah media sosial dan mendapatkan tanggapan dari khalayak lainnya, maka perilaku ini akan diikuti orang lain lebih banyak. Terjadilah copy perilaku untuk mendapatkan respons yang sama. Termasuk jika yang di-share adalah konten hoax. Terjadilah jejaring hoax.
"Teori kedua, kekhawatiran, kecemasan, ketakutan, bisa bersumber dari keadaan cognitive dissonance. Disonansi terjadi ketika ada gap antara pengetahuan, keyakinan dengan perilaku aktual. Manusia normal, di luar kesadarannya menghendaki keadaan konsonan. Maka diperlukan upaya tertentu, termasuk berkomunikasi, ketika seseorang mengalami disonansi, agar kembali nyaman," ulas Firman.
Dalam hal hoax, dia melanjutkan, ketika informasi tercerna
pengguna media sosial tertentu dan membuatnya pada posisi disonan, ia perlu
mengembalikan diri pada posisi konsonan. Hoax yang diterimanya, walaupun belum
jelas kebenarannya, telah mengubah keseimbangan konsonansinya. Lalu, agar
kembali ke keadaan konsonan, dia merasa perlu menindaklanjuti informasi yang
diterimanya dengan berkomunikasi, dan tak menutup kemungkinan juga dengan
menyebarkan ke jejaring yang lebih luas.
"2 Keadaan di atas pada gilirannya memperlebar jangkauan hoax. Semakin banyak masyarakat yang mengonsumsi hoax akan menyebabkan imitasi perilaku yang sejenis. Juga, masyarakat yang mengalami disonansi akibat hoax merasa perlu bertindak untuk kembali ke posisi konsonan, dengan melemparkan hoax yang telah diterimanya," ujar Firman.
"Jadilah masyarakat hidup dalam perangkap hoax yang makin rumit dan tak tuntas. Kebenaran menjadi makin sulit diraih," imbuhnya.
"2 Keadaan di atas pada gilirannya memperlebar jangkauan hoax. Semakin banyak masyarakat yang mengonsumsi hoax akan menyebabkan imitasi perilaku yang sejenis. Juga, masyarakat yang mengalami disonansi akibat hoax merasa perlu bertindak untuk kembali ke posisi konsonan, dengan melemparkan hoax yang telah diterimanya," ujar Firman.
"Jadilah masyarakat hidup dalam perangkap hoax yang makin rumit dan tak tuntas. Kebenaran menjadi makin sulit diraih," imbuhnya.
Namun kondisi itu bukan tanpa jalan keluar. Firman
mengatakan harus ada peran aktif dari pihak-pihak yang memahami gelombang hoax.
"Pihak-pihak yang memahami mekanisme gelombang hoax harus membangun sistem ketahanan masyarakat terhadap hoax. Apa itu? Menahan kecemasan, kekhawatiran dan ketakutan terhadap informasi yang belum jelas kebenarannya. Inilah yang disebut sebagai literasi emosi masyarakat terhadap informasi. Satu fase lebih lanjut dari literasi media," pungkasnya. (**)
"Pihak-pihak yang memahami mekanisme gelombang hoax harus membangun sistem ketahanan masyarakat terhadap hoax. Apa itu? Menahan kecemasan, kekhawatiran dan ketakutan terhadap informasi yang belum jelas kebenarannya. Inilah yang disebut sebagai literasi emosi masyarakat terhadap informasi. Satu fase lebih lanjut dari literasi media," pungkasnya. (**)
No comments:
Post a Comment